Penulis: Sarhan Hasibuan S.H | Ketum HIMATARA
Tanah tumpah darah Tano Hatubuon, yang selama ini dikenal dengan keindahan alamnya, kini dirundung nestapa. Deretan bencana alam, mulai dari banjir bandang yang menghanyutkan harapan hingga tanah longsor yang menimbun kehidupan, menjadi kenyataan pahit bagi masyarakat. Bukit Barisan yang seharusnya menjadi benteng dan spons raksasa bumi justru tidak mampu menahan luapan air karena hutan-hutan yang terus dibabat.
Sarhan Hasibuan, S.H., Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Tapanuli Raya (HIMATARA), mengingatkan bahwa bencana ini bukan semata takdir. “Alam sedang murka, tapi kemarahannya diperparah oleh tangan manusia dan kebijakan pemerintah yang abai terhadap lingkungan,” ujarnya tegas.
HIMATARA menyoroti tiga faktor utama yang memperparah bencana di Tapanuli Raya:
- Deforestasi dan Perusakan Alam: Hutan-hutan terus dibabat untuk perkebunan monokultur, pertambangan yang merusak, dan proyek infrastruktur yang mengorbankan paru-paru bumi. Janji-janji konservasi dan komitmen menjaga kelestarian alam kerap tak terealisasi.
- Pencemaran Sungai dan Air Bersih: Sungai-sungai tercemar limbah rumah tangga dan industri yang lolos dari pengawasan. Akibatnya, masyarakat sulit memperoleh air bersih dan penyakit merajalela. Ekosistem pun rusak parah.
- Pengabaian Rencana Tata Ruang: Pembangunan dilakukan tanpa studi dampak lingkungan yang serius. Daerah resapan air hilang, risiko banjir dan longsor meningkat berkali-kali lipat.
“Cukup sudah! Saatnya menuntut tanggung jawab,” tegas Sarhan. HIMATARA menyerukan agar mahasiswa, petani, nelayan, buruh, dan seluruh rakyat Tapanuli Raya bersatu menuntut keadilan dan perlindungan lingkungan.
HIMATARA menuntut pemerintah, khususnya di wilayah Tapanuli Raya, untuk:
- Menghentikan deforestasi dan penambangan ilegal.
- Meninjau ulang semua izin perusak lingkungan.
- Membuat kebijakan yang pro-lingkungan dan pro-rakyat, bukan pro-korporasi.
- Menjamin keadilan bagi korban bencana serta melakukan rehabilitasi menyeluruh.
Mahasiswa HIMATARA, bersama warga terdampak, turun langsung ke lapangan, mendokumentasikan kerusakan, dan menyebarkan informasi untuk meningkatkan kesadaran publik. Mereka menekankan bahwa hujan bukan sekadar fenomena alam, melainkan alarm yang menuntut perubahan sistemik.
Sekretaris Umum HIMATARA, Abdul Fattah Hasibuan, menambahkan, “Kita tidak bisa lagi pasrah. Pemerintah harus segera meninjau ulang tata ruang, melindungi hulu sungai, dan memastikan masa depan Tano Hatubuon tetap aman dan lestari.”
HIMATARA menekankan, bencana bukan hanya tentang alam, tetapi juga tentang kehidupan dan masa depan generasi mendatang. Mereka menyerukan agar seluruh pihak mengambil langkah nyata demi keberlanjutan Tapanuli Raya.
Aksi HIMATARA menjadi simbol perlawanan masyarakat terhadap pengabaian lingkungan dan ketidakadilan. Bangkit, bergerak, dan melawan menjadi pesan utama mereka bagi rakyat dan pemerintah.
Catatan Redaksi: HIMATARA melalui Ketua Umum Sarhan Hasibuan, S.H., dan Sekretaris Umum Abdul Fattah Hasibuan, menekankan urgensi perlindungan hulu, penegakan hukum lingkungan, dan rehabilitasi korban bencana. Pemerintah diharapkan segera menindaklanjuti tuntutan ini demi keberlanjutan Tapanuli Raya.